Pembangunan hingga penyelenggaraan rumah susun (rusun) atau
apartemen sederhana bersubsidi di Indonesia masih jadi persoalan yang
pelik dan ruwet, dari urusan lahan, regulasi, penyimpangan peruntukan,
hingga pengelolaan rusun yang memicu konflik. Padahal pengembangan rusun
di Indonesia sudah berumur 30 tahun lamanya.
Sekelumit potongan sambutan Presiden Soeharto pada Peresmian Penghunian Rusun Perum Perumnas Klender, pada 3 September 1985 di Klender, Jakarta Timur, menjadi masa-masa awal keberadaan rumah susun di Indonesia. Pada periode 1983-1991 merupakan milestone pembangunan rusun sederhana yang dirintis pada masa Orde Baru dalam rangka peremajaan perkotaan oleh BUMN Perumnas.
Sayangnya, keberlanjutan program rusun oleh pemerintah mengendur, apalagi setahun selepas rezim Orde Baru tumbang, Kementerian Perumahan Rakyat dihilangkan. Setelah periode pasca-krisis sejak 1999, Perumnas sebagai penggerak perumahan rakyat juga mengalami restrukturisasi pinjaman perusahaan dan penurunan kemampuan, di tengah tak adanya lagi kementerian khusus yang menangani perumahan.
Hingga akhirnya Kementerian Negara Perumahan Rakyat dibentuk kembali pada 2004. Imbas terhapusnya kementerian tersebut selama dua periode berakibat pada struktur dan program pembangunan rumah rakyat harus ditata kembali dari awal.
Diawali dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan. Upaya konkret pemerintah dengan dimulainya peresmian program 1.000 Tower rumah susun pada 5 April 2007 oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono waktu itu. Rusun pertama yang dibangun berbentuk Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) yang lokasinya di Pulo Gebang, Jakarta Timur, kerjasama Perumnas dengan PT Primaland Internusa Development.
Pada periode ini Perumnas menjadi pelopor dan pemimpin pembangunan Rusunami 1.000 Tower untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang layak, sehat, dan terjangkau. Untuk itu, upaya melakukan insentif dilakukan pemerintah. Lahirlah regulasi terkait batas maksimum harga jual Rusunami ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Pada waktu itu, patokan harga maksimum rusun milik bersubsidi yang bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Rp4 juta per meter persegi atau Rp144 juta per unit, dengan luasan minimum 36 per meter persegi.
Kementerian Pekerjaan Umum juga mengeluarkan Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi. Sedangkan Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan peraturan Pedoman Pemberian Kemudahan Perizinan dan Insentif dalam rangka Percepatan Pembangunan Rusun di Kawasan Perkotaan. Program ini langsung disambut oleh kota seperti Jakarta, yang mengeluarkan Peraturan Gubernur, terkait Percepatan Pembangunan Rumah Susun dan Pembentukan Tim Koordinasi Daerah Percepatan Pembangunan Rusun tertanggal 25 Oktober 2007.
Pada 2008, berbagai masalah mulai mengemuka. Muncul plesetan, '1.000 Tower, 1001 Masalah.' Dua hal besar setidaknya yang mengemuka dari program 1.000 tower ini; pertama, dari sisi ketidaktepatan sasaran target pemilik rusunami; dan kedua, masalah partisipasi yang minim oleh pengembang swasta, yang akhirnya berdampak pada capaian program 1000 Tower. Pemerintah memang tak bisa lepas dari peranan sektor swasta di program ini.
Pada tahun itu, kondisi perekonomian Indonesia juga sedang terdampak dari kenaikan harga BBM dan ekonomi global yang mengalami krisis. Di sektor riil seperti properti, harga material bangunan terkerek naik akibat harga BBM. Harga jual rusun pun harus disesuaikan harga tanah dan material. Masalahnya, upaya regulasi untuk menaikkan patokan harga maksimum rumah susun bersubsidi masih belum bisa direalisasikan saat itu.
Ketua Asosiasi Perhimpunan Penghuni Rumah Susun, Ibnu Tadji, mengatakan peruntukan rusun tak tepat sasaran bermula dari situ. Saat itu daya beli masyarakat menurun hingga pengembang tak mampu menjual rusun lebih dari 20 persen karena pasar masyarakat berpenghasilan rendah, yang menjadi sasaran, tak menjangkau daya beli rusunami yang dibangun.
“Akhirnya keluarlah peraturan pemerintah, yang pertama hanya diperuntukkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, sekarang boleh dengan catatan tidak ada subsidi PPN dan bunga Bank. Nah, maka berbondong-bondonglah orang beli, maka harga kemudian dinaikkan oleh pengembang, jadi prioritasnya kepada siapa saja. Saya punya teman di Kalibata City, itu sekaligus beli 10 unit,” kata Ibnu kepada Tirto di kediamannya, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (7/1/2017).
Persoalan regulasi juga jadi momok dari program 1.000 Tower. Beberapa persoalan antara lain tak ada kepastian perizinan bagi pengembang termasuk soal masalah keringanan Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB), dan penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) bagi tanah negara. Berbagai persoalan ini membuat program 1.000 Tower Rusunami tak berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam tulisan Indonesia Property Watch (IPW) berjudul 'Rusun Subsidi: Salah Sasaran atau Salah Urus?', kendala program 1.000 Tower yang semula diminati pengembang karena program ini memberikan peluang koefisien lantai bangunan (KLB) yang bisa mencapai 6—artinya peluang menjual luas rusunami oleh swasta lebih besar—namun, sejak adanya penyegelan proyek Kalibata City oleh Pemda DKI Jakarta karena alasan bahwa KLB tidak boleh lebih dari 3,5x, mulai banyak pengembang menarik diri untuk membangun rusunami subsidi.
“Kebijakan 1.000 menara rusunami sudah mati suri sejak tahun 2010 dan dibiarkan mengambang tanpa ada perbaikan kebijakan,” jelas IPW.
Pemerintah mencoba berbenah. Pada 2011 lahirlah dua undang-undang yang krusial bagi persoalan hunian di Indonesia termasuk rusun. UU itu antara lain UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan UU 20/2011 tentang Rumah Susun, sebagai revisi UU 16/1985 tentang rusun.
UU Rusun mengatur tentang rumah susun umum, rumah susun khusus, rumah susun negara, dan rumah susun komersial yang dikembangkan swasta atau biasa disebut apartemen. UU ini mencoba melindungi konsumen masyarakat bawah, misalnya ketentuan yang mengatur pelaku pembangunan apartemen wajib menyediakan rumah susun umum sekurang-kurangnya 20 persen dari total luas lantai apartemen yang dibangun. Semangat melindungi konsumen juga tercermin dari ketentuan soal Perhimpunan Pemilik Penghuni Satuan Rumah Susun.
Sayangnya, dalam UU Rusun, masih ditemui beberapa peraturan yang bersifat mengambang soal pembentukan Perhimpunan itu. Beberapa di antaranya klausul terkait pengelola juga dituntut untuk mengimplementasi tata tertib hunian sehingga tercipta ketertiban dalam penggunaan barang milik bersama, fasilitas bersama, dan fasilitas sosial lainnya. Dalam pelaksanaannya, banyak peraturan baru oleh pengembang dibuat di luar kesepakatan dengan penghuni apartemen.
Tak jarang muncul gejolak hingga konflik berupa Perhimpunan tandingan yang dibentuk oleh warga sendiri untuk mengimbangi peran Perhimpunan bentukan pengembang. Belakangan, Rancangan Peraturan Pemerintah turunan dari amanat UU Rusun menjadi harapan bagi pemilik maupun penghuni sebagai solusi konflik pengelolaan apartemen.
Di tengah persoalan pembangunan rusun dan penyelenggaraan rusun yang masih bermasalah, Presiden Joko Widodo mencanangkan program sejuta rumah pada 2015. Pada 2016, program ini menargetkan pembangunan 1.000.000 unit rumah. Target pembangunan rumah untuk masyarakat berpengasilan rendah mencapai 700.000 unit rumah, sementara non-masyarakat berpendapatan rendah hanya 300.000 unit rumah.
Pembangunan rumah untuk masyarakat miskin yang akan dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementerian PU dan Perumahan Rakyat sesuai APBN hanya sebanyak 113.422 unit (termasuk Rusunawa), dan rumah untuk kalangan warga miskin yang dibiayai non-APBN adalah 586.578 unit. Sedangkan sisanya, rumah untuk warga berpendapatan menengah ke atas sebanyak 300.000 unit, diserahkan kepada pengembang dan masyarakat melalui pembangunan rumah komersial dan umum. Di sini, jelas peran APBN sangat minim untuk penyediaan hunian, termasuk rusun.
Di sisi lain, pemerintah harus terus berlomba dengan kebutuhan perumahan termasuk di wilayah perkotaan yang kian meningkat. Sayangnya, pemerintah menjawabnya dengan pembangunan rusunawa. Pembangunan rusunawa hanya memberikan jawaban instan bagi persoalan hunian, masyarakat kelas bawah perkotaan yang harus terus-menerus menyewa untuk urusan papan, seperti yang dialami para korban gusuran.
Ia membutuhkan kehadiran negara sebagaimana slogan Presiden Jokowi selama ini untuk menyediakan rusunawa maupun rusunami dengan memaksimalkan peran Perumnas, dan pengawasan pengelolaan rusunami yang dibangun oleh swasta. Betapapun tak mudah sebagaimana sejak perintisan rumah susun 30 tahun lalu.
Baca juga artikel terkait APARTEMEN
(tirto.id - dqy/dra)