Monday, April 3, 2017

 
 WONG KUDUS PEKA HUKUM.
 
 
a) Sejarah pembentukan mahkamah konstitusi di Indonesia
Semangat reformasi setelah masa orde baru bangsa Indonesia ingin melakukan banyak perubahan mendasar. Dalam bidang ketatanegaraan khususnya dilakukan amandemen undang-undang dasar 1945. Amandemen terhadap undang-undang dasar telah dilakukan sebanyak empat kali. Pasca amandemen perubahan ketiga undang-undang dasar 1945 terbentuklah mahkamah konstitusi sebagai lembaga tinggi Negara. Mahkamah konstitusi sebagai pengawal sekaligus penafsir undang-undang dasar merupakan sebuah lembaga Negara yang sifatnya masih baru di dalam kehidupan ketatanegaraan di dunia modern.

Bersama Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi adalah pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman mahkamah konstitusi diharapkan dapat menjadi ujung tombak penegakan keadilan. Banyak yang berharap bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat menjamin hak konstitusioanal warganegara. Sebab selama masa orde baru hak-hak dasar warganegara selalu diabaikan oleh penguasa pada saat itu. Masyarakat pada masa itu sering menjadi korban kebijakan pemerintah yang selalu mangabaikan hak masyarakat. Keberadaan mahkamah konstitusi dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk mendapatkan perlindungan akan hak-haknya yang telah diatur dalam konstitusi, dalam hal ini adalah undang-undang dasar 1945.

Ide pembentukan mahkamah konstitusi diawali oleh pembaharuan pemikiran dalam bidang ketatanegaraan pada abad 20. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga Negara yang berasal dari sistem hukum eropa kontinental. Indonesia sebagai sebuah Negara hukum (Rechstaat) banyak dipengaruhi pemikiran ketatanegaraan di Eropa terutama Negara dengan sistem hukum Eropa Continental yang menganut supremasi konstitusi. Pada Negara yang menganut Eropa Continental Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang merupakan bentuk perlindungan terhadap hak konstitusional warganegara.

Ide mengenai pembentukan mahkamah konstitusi di Indonesia muncul sejak lama. Pembentukan Mahkamah Konstitusi terwujud ketika akan dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. Lahirnya Mahkamah Konstitusi pasca amandemen merupakan respons terhadap tuntutan penguatan mekanisme check and balances dalam sistem penyelenggaraan negara.

Mahkamah Konstitusi secara resmi terbentuk pada tanggal 16 Agustus 2003. Namun terdapat perbedaan pendapat. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi lahir Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Ada pula yang berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi lahir bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003. Secara kelembagaan Mahkamah Konstitusi menetapakan tanggal 16 Agustus 2003 sebagai kelahiran mahkamah konstitusi.

Mengutip Afiuka Hadjar, ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu:

1. Paham Konstitusionalisme
Paham Konstitusionalisme adalah suatu paham yang menganut adanya pembatasan kekuasaan. Paham ini memiliki dua esensi yaitu pertama sebagai konsep negara hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara, hukum akan melakukan kontrol terhadap politik, bukan sebaliknya, kedua adalah konsep hak-hak sipil warga negara menyatakan, bahwa kebebasan warga negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi.

2. Sebagai Mekanisme Check and Balances
Sebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindarkan tindakan-tindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi kekuasaan, untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindih antar kewenangan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, maka system kontrol yang relevan adalah sistem kontrol judicial.

3. Penyelenggaraan Negara yang Bersih
Sistem pemerintahan yang baik meniscayakan adanya penyelenggaraan negara yang bersih, transparan dan partisipatif.

4. Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
Kekuasaan yang tidak terkontrol seringkali melakukan tindakan semena-mena dalam penyelenggaraan negara dan tidak segan-segan melakukan pelanggaran terhadap HAM.

Selain itu berdirinya lembaga konstitusi merupakan konsekwensi dianutnya Rechstaat dalam ketatanegaraan di Indonesia. Otomatis akan terjadi pemisahan kekuasaan dan mekanisme check and balance antar lembaga. Mahkamah Konstitusilah yang akan melakukannya terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh legislatif

b) Tugas dan wewenang
Sebagai sebuah lembaga Negara Mahkamah konstitusi memilik tugas dan wewenang antara lain:
1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. memutus pembubaran partai politik; dan
4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR

a. Judicial review atau constitutional review
Terdapat banyak pendapat mengenai istilah dari pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sebagian orang menganggap bahwa istilah yang cocok mengenai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Namun banyak pula pakar hukum yang berpendapat lain.

Judicial review sering diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Namun judicial review juga dapat diartikan sebagai peninjauan kembali (PK). Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa judicial review adalah upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun judikatif dalam rangka pererapan prinsip check and balance berdasarkan separation of power.

Sedangkan istilah constitusional review berarti review yang dilakukan oleh lembaga yudikatif atas produk perundang-undangan terhadap konstitusi (undang-undang dasar). Constitusional review lebih spesifik pengujian terhadap undang-undang.

b. Latar belakang judicial review
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia kita mengenal istilah judicial review. Judicial review sering diartikan sebagai pengujian terhadap undang-undang dasar. Judicial review awal mula lahir di Amerika Serikat sejak tahun 1803. Terjadi kasus madison vs william marbury. Hakim john marshal yang melahirkan putusan judicial review. Saat itu ia ditantang oleh madison untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang yang ditetapkan oleh kongres. Namun di Amerika judicial review dilakukan oleh Mahkamah Agung (Supreme court). Amerika tidak mengenal adanya lembaga Mahkamah Konstitusi.

Judicial review telah diperbincangkan sejak dulu oleh para founding father Indonesia antar Supomo dan Muh Yamin. Sopomo beranggapan bahwa judicial review tidak diperlukan karena memposisikan lembaga peradilan lebih tinggi dari lembaga lain dan bertentangan dengan konsep trias politica. Namun hal tersebut dibantah oleh Muh. Yamin ia mengatakan bahwa judicial review itu diperlukan.

Selain itu adanya judicial review dilatar belakangi oleh

1. Historis ketatanegaraan
Dahulu banyak produk perundang-undangan yang bertentangan dengan undang-undang dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 sudah terreduksi dan disalah artikan oleh pemerintah demi mempertahankan kekuasaan. Sehingga pasca reformasi masyarakat menginginkan adanya suatu sistem pengujian agar undang-undang diterapkan sesuai dengan UUD 1945.

2. Konsep supremasi konstitusi
Indonesia menganut supremasi konstitusi pada masa orde baru. Undang-undang dasar tidak boleh diganggu-gugat dan ditafsirkan. Sehingga ketika terjadi amandemen terhadap UUD 1945 banyak usulan untuk membentuk sebuah lembaga yang berfungsi sebagai penafsir dan pengawal konstitusi.

c. Pelaksanaan judisial review dalam lingkungan kekuasaan kehakiman

Dalam pelaksanaannya di Indonesia judicial review dilakukan oleh dua lembaga yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dalam UUD 1945 diatur bahwa Mahkamah Konstitusi berhak menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sedangkan Mahkamah Agung berhak menguji produk perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.

Dari ketentuan ini muncul permasalahan apakah jika Mahkamah Konstitusi membatalkan atau menyatakan suatu undang-undang tidak berlaku lagi maka bagaimanakah peraturan yang berada di bawah undang-undang tersebut. Apakah akan batal secara otomatis atau tetap berlaku. Disinilah letak kekurangan sistem pengujian. Seharusnya kita menganut sistem sentarlisasi. Dimana pengujian seluruhnya dipegang oleh satu badan. Sehingga putusan yang dikeluarkan tidak akan mengakibatkan pertentangan.

d. Macam-macam pengujian
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie pengujian terhadap undang-undang ada dua macam yakni :
1.. pengujian materiil
Adalah pengujian atas bagian undang-undang yang bersangkutan. Bagian tersebut dapat berupa bab, ayat, pasal, atau kata bahkan kalimat dalam suatu pasal atau ayat dalam sebuah undang-undang.

2.. pengujian formil
Adalah pengujian yang dilakukan terhadap form atau format dan aspek-aspek formalisasi substansi norma yang diatur itu menjadi suatu bentuk hukum tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga substansi norma hukum yang dimaksud menjadi mengikat untuk umum.

Sri Sumantri berpendapat bahwa : Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.

Pada dasarnya Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.

Sedangkan pengujian materil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum. Misalnya, berdasarkan prinsip ‘lex specialis derogate lex generalis’, maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan yang bersifat umum.

Ultra petita dalam putusan mahkamah konstitusi

Ultra petita adalah penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau mememutus melebihi dari pada yang diminta. Ketentuan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum).

Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pihak itu dapat membenarkan tuntutan hukum mereka. Ia tidak boleh menambah sendiri hal-hal yang lain, dan tidak boleh memberikan lebih dari yang diminta.

Berbeda dengan peradilan perdata, hukum acara di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengatur ultra petita. Objek perkara atau objectum litis di MK berbeda dengan peradilan perdata yang melindungi orang perorangan, sedangkan di MK lebih bersifat hukum publik, tidak hanya melindungi kepentingan pihak-pihak yang berperkara, akan tetapi tidak kalah penting di luar para pihak, yaitu seluruh rakyat Indonesia.

Keputusan hakim tidak boleh bersifat ultra petita (melebihi tuntutan penggugat) tetapi dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa penggugat dalam keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam UU. Hal inilah yang menjadi dasar untuk mengeluarkan putusan yang melebihi petitum.

Ultra petita bagi beberapa pihak dianggap merupakan pelanggaran terhadap UU MK terjadi karena tidak ada peraturan atau ketentuan dalam UU MK yang membolehkan MK memutuskan melebihi apa yang dimohonkan. Menurut Pasal 5 ayat 1 huruf b Peraturan MK No.06/PMK/2005 dan Pasal 51 ayat (3) UU-MK, setiap permohonan harus disertai uraian petita yang jelas :

“kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji”

Kekosongan hukum dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi memang menyulitkan bagi para hakim dalam menjalankan praktek beracara Mahkamah Konstitusi. Sumber hukum yang menjadi acuan selama ini adalah Peraturan Mahkah Konstitusi Nomor 06/2005 tentang pedoman beracara dalam perkara pengujian undang-undang. Namun palam peraturan ini tidak mengatur batasan apakah Mahkamah Konstitusi boleh melakukan ultra petita. Oleh karena itulah Mahkamah Konstitsi mengadopsi berbagai aturan dalam hukum acara terutama hukum acara peradilan tata usaha negara. Mahkamah Konstitusi juga mengadopsi peraturan yang berasal dari negara lain yang memiliki lembaga Constitutional courts.

Ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi mendasarkan pada pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi Korea Selatan yang berbunyi :

“Mahkamah Konstitusi memutus konstitusionalitas tidaknya satu undang-undang atau suatu ketentuan dari undang-undang hanya yang dimohonkan pengujian. Dalam hal seluruh ketentuan dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat putusan inkonstitusionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan undang-undang tersebut”

Jimly Asshiddiqie, mengatakan, boleh saja putusan MK memuat ultra petita jika masalah pokok yang dimintakan review terkait pasal-pasal lain dan menjadi jantung dari UU yang harus diuji itu. Menurut Jimly, larangan ultra petita hanya ada dalam peradilan perdata. Sedangkan Bagir Manan mengatakan, ultra petita dalam putusan MK dapat dibenarkan asal dalam permohonan judicial review atas isi UU itu pemohon mencantumkan permohonan ex aequo et bono (memutus demi keadilan).

Mahkamah Konstitusi melakukan ultra petita dengan alasan bahwa dalil yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan keseluruhan UU diluar permohonan pemohon, karena menyangkut kepentingan masyarakat luas, serta menimbulkan akibat hukum yang lebih luas dari pada sekadar mengenai kepentingan Pemohon sebagai perorangan.

Hukum bukan sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah “ilmu”. Kita dapat memaknai putusan MK yang bersifat ultra petita untuk mewujudkan keadilan konstitusi.

Jika menilik kembali fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi, lembaga nomokratis pengimbang dan pengarah sistem demokrasi, lembaga penjaga hak konstitusional hak warga negara, dan lembaga penafsir tertinggi atas ketentuan konstitusi maka MK tidak hanya memutus berdasarkan petitum para pemohon. Tetapi juga harus melihat substansi gugatan tersebut. Sejarah mencatat bahwa kewenangan judicial review pun lahir dari sebuah putusan ultra petita yang diputuskan oleh hakim agung John Marshall di Supreme Court (Mahkamah Agung Amerika).