WONG KUDUS PEKA HUKUM.
a) Sejarah pembentukan mahkamah konstitusi di Indonesia
Semangat
reformasi setelah masa orde baru bangsa Indonesia ingin melakukan
banyak perubahan mendasar. Dalam bidang ketatanegaraan khususnya
dilakukan amandemen undang-undang dasar 1945. Amandemen terhadap
undang-undang dasar telah dilakukan sebanyak empat kali. Pasca amandemen
perubahan ketiga undang-undang dasar 1945 terbentuklah mahkamah
konstitusi sebagai lembaga tinggi Negara. Mahkamah konstitusi sebagai
pengawal sekaligus penafsir undang-undang dasar merupakan sebuah lembaga
Negara yang sifatnya masih baru di dalam kehidupan ketatanegaraan di
dunia modern.
Bersama Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi adalah pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sebagai
pemegang kekuasaan kehakiman mahkamah konstitusi diharapkan dapat
menjadi ujung tombak penegakan keadilan. Banyak yang berharap bahwa
pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat menjamin hak konstitusioanal
warganegara. Sebab selama masa orde baru hak-hak dasar warganegara
selalu diabaikan oleh penguasa pada saat itu. Masyarakat pada masa itu
sering menjadi korban kebijakan pemerintah yang selalu mangabaikan hak
masyarakat. Keberadaan mahkamah konstitusi dapat menjadi wadah bagi
masyarakat untuk mendapatkan perlindungan akan hak-haknya yang telah
diatur dalam konstitusi, dalam hal ini adalah undang-undang dasar 1945.
Ide pembentukan mahkamah
konstitusi diawali oleh pembaharuan pemikiran dalam bidang
ketatanegaraan pada abad 20. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga
Negara yang berasal dari sistem hukum eropa kontinental. Indonesia
sebagai sebuah Negara hukum (Rechstaat) banyak dipengaruhi pemikiran
ketatanegaraan di Eropa terutama Negara dengan sistem hukum Eropa
Continental yang menganut supremasi konstitusi. Pada Negara yang
menganut Eropa Continental Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang
merupakan bentuk perlindungan terhadap hak konstitusional warganegara.
Ide mengenai pembentukan
mahkamah konstitusi di Indonesia muncul sejak lama. Pembentukan Mahkamah
Konstitusi terwujud ketika akan dilakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Lahirnya Mahkamah Konstitusi pasca amandemen merupakan respons terhadap
tuntutan penguatan mekanisme check and balances dalam sistem
penyelenggaraan negara.
Mahkamah Konstitusi secara resmi
terbentuk pada tanggal 16 Agustus 2003. Namun terdapat perbedaan
pendapat. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi lahir
Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal
7B yang disahkan pada 9 November 2001. Ada pula yang berpendapat bahwa
Mahkamah Konstitusi lahir bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003. Secara kelembagaan
Mahkamah Konstitusi menetapakan tanggal 16 Agustus 2003 sebagai
kelahiran mahkamah konstitusi.
Mengutip Afiuka Hadjar, ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1. Paham Konstitusionalisme
Paham
Konstitusionalisme adalah suatu paham yang menganut adanya pembatasan
kekuasaan. Paham ini memiliki dua esensi yaitu pertama sebagai konsep
negara hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara, hukum akan
melakukan kontrol terhadap politik, bukan sebaliknya, kedua adalah
konsep hak-hak sipil warga negara menyatakan, bahwa kebebasan warga
negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi.
2. Sebagai Mekanisme Check and Balances
Sebuah
sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme
check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances
memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan
menghindarkan tindakan-tindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi
kekuasaan, untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindih antar
kewenangan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, maka
system kontrol yang relevan adalah sistem kontrol judicial.
3. Penyelenggaraan Negara yang Bersih
Sistem pemerintahan yang baik meniscayakan adanya penyelenggaraan negara yang bersih, transparan dan partisipatif.
4. Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
Kekuasaan
yang tidak terkontrol seringkali melakukan tindakan semena-mena dalam
penyelenggaraan negara dan tidak segan-segan melakukan pelanggaran
terhadap HAM.
Selain itu berdirinya lembaga
konstitusi merupakan konsekwensi dianutnya Rechstaat dalam
ketatanegaraan di Indonesia. Otomatis akan terjadi pemisahan kekuasaan
dan mekanisme check and balance antar lembaga. Mahkamah Konstitusilah
yang akan melakukannya terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh legislatif
b) Tugas dan wewenang
Sebagai sebuah lembaga Negara Mahkamah konstitusi memilik tugas dan wewenang antara lain:
1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. memutus pembubaran partai politik; dan
4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5.
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR
a. Judicial review atau constitutional review
Terdapat
banyak pendapat mengenai istilah dari pengujian undang-undang terhadap
undang-undang dasar. Sebagian orang menganggap bahwa istilah yang cocok
mengenai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Namun
banyak pula pakar hukum yang berpendapat lain.
Judicial review sering diartikan
sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Namun
judicial review juga dapat diartikan sebagai peninjauan kembali (PK).
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa judicial review adalah upaya
pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan
oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun judikatif dalam
rangka pererapan prinsip check and balance berdasarkan separation of
power.
Sedangkan istilah constitusional
review berarti review yang dilakukan oleh lembaga yudikatif atas produk
perundang-undangan terhadap konstitusi (undang-undang dasar).
Constitusional review lebih spesifik pengujian terhadap undang-undang.
b. Latar belakang judicial review
Dalam
praktik ketatanegaraan di Indonesia kita mengenal istilah judicial
review. Judicial review sering diartikan sebagai pengujian terhadap
undang-undang dasar. Judicial review awal mula lahir di Amerika Serikat
sejak tahun 1803. Terjadi kasus madison vs william marbury. Hakim john
marshal yang melahirkan putusan judicial review. Saat itu ia ditantang
oleh madison untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang yang
ditetapkan oleh kongres. Namun di Amerika judicial review dilakukan oleh
Mahkamah Agung (Supreme court). Amerika tidak mengenal adanya lembaga
Mahkamah Konstitusi.
Judicial review telah
diperbincangkan sejak dulu oleh para founding father Indonesia antar
Supomo dan Muh Yamin. Sopomo beranggapan bahwa judicial review tidak
diperlukan karena memposisikan lembaga peradilan lebih tinggi dari
lembaga lain dan bertentangan dengan konsep trias politica. Namun hal
tersebut dibantah oleh Muh. Yamin ia mengatakan bahwa judicial review
itu diperlukan.
Selain itu adanya judicial review dilatar belakangi oleh
1. Historis ketatanegaraan
Dahulu
banyak produk perundang-undangan yang bertentangan dengan undang-undang
dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 sudah terreduksi dan disalah
artikan oleh pemerintah demi mempertahankan kekuasaan. Sehingga pasca
reformasi masyarakat menginginkan adanya suatu sistem pengujian agar
undang-undang diterapkan sesuai dengan UUD 1945.
2. Konsep supremasi konstitusi
Indonesia
menganut supremasi konstitusi pada masa orde baru. Undang-undang dasar
tidak boleh diganggu-gugat dan ditafsirkan. Sehingga ketika terjadi
amandemen terhadap UUD 1945 banyak usulan untuk membentuk sebuah lembaga
yang berfungsi sebagai penafsir dan pengawal konstitusi.
c. Pelaksanaan judisial review dalam lingkungan kekuasaan kehakiman
Dalam pelaksanaannya di
Indonesia judicial review dilakukan oleh dua lembaga yakni Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dalam UUD 1945 diatur bahwa Mahkamah
Konstitusi berhak menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Sedangkan Mahkamah Agung berhak menguji produk perundang-undangan
dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
Dari ketentuan ini muncul
permasalahan apakah jika Mahkamah Konstitusi membatalkan atau menyatakan
suatu undang-undang tidak berlaku lagi maka bagaimanakah peraturan yang
berada di bawah undang-undang tersebut. Apakah akan batal secara
otomatis atau tetap berlaku. Disinilah letak kekurangan sistem
pengujian. Seharusnya kita menganut sistem sentarlisasi. Dimana
pengujian seluruhnya dipegang oleh satu badan. Sehingga putusan yang
dikeluarkan tidak akan mengakibatkan pertentangan.
d. Macam-macam pengujian
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie pengujian terhadap undang-undang ada dua macam yakni :
1.. pengujian materiil
Adalah
pengujian atas bagian undang-undang yang bersangkutan. Bagian tersebut
dapat berupa bab, ayat, pasal, atau kata bahkan kalimat dalam suatu
pasal atau ayat dalam sebuah undang-undang.
2.. pengujian formil
Adalah
pengujian yang dilakukan terhadap form atau format dan aspek-aspek
formalisasi substansi norma yang diatur itu menjadi suatu bentuk hukum
tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga
substansi norma hukum yang dimaksud menjadi mengikat untuk umum.
Sri Sumantri berpendapat bahwa :
Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan
kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya
sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya,
serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak
mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini
berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
Pada dasarnya Pengujian formil
biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan
legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim dapat membatalkan
suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan resmi
tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga dapat
menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang
memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.
Sedangkan pengujian materil
berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan
peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut
kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan
norma-norma yang berlaku umum. Misalnya, berdasarkan prinsip ‘lex
specialis derogate lex generalis’, maka suatu peraturan yang bersifat
khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya
bertentangan dengan materi peraturan yang bersifat umum.
Ultra petita dalam putusan mahkamah konstitusi
Ultra petita adalah penjatuhan
putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau mememutus
melebihi dari pada yang diminta. Ketentuan ultra petita diatur dalam
Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang
seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum).
Hakim hanya menimbang hal-hal
yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya
(iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur). Hakim hanya
menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pihak itu
dapat membenarkan tuntutan hukum mereka. Ia tidak boleh menambah sendiri
hal-hal yang lain, dan tidak boleh memberikan lebih dari yang diminta.
Berbeda dengan peradilan
perdata, hukum acara di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengatur ultra
petita. Objek perkara atau objectum litis di MK berbeda dengan peradilan
perdata yang melindungi orang perorangan, sedangkan di MK lebih
bersifat hukum publik, tidak hanya melindungi kepentingan pihak-pihak
yang berperkara, akan tetapi tidak kalah penting di luar para pihak,
yaitu seluruh rakyat Indonesia.
Keputusan hakim tidak boleh
bersifat ultra petita (melebihi tuntutan penggugat) tetapi dimungkinkan
adanya reformatio in peius (membawa penggugat dalam keadaan yang lebih
buruk) sepanjang diatur dalam UU. Hal inilah yang menjadi dasar untuk
mengeluarkan putusan yang melebihi petitum.
Ultra petita bagi beberapa pihak
dianggap merupakan pelanggaran terhadap UU MK terjadi karena tidak ada
peraturan atau ketentuan dalam UU MK yang membolehkan MK memutuskan
melebihi apa yang dimohonkan. Menurut Pasal 5 ayat 1 huruf b Peraturan
MK No.06/PMK/2005 dan Pasal 51 ayat (3) UU-MK, setiap permohonan harus
disertai uraian petita yang jelas :
“kedudukan hukum (legal
standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan
Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji”
Kekosongan hukum dalam hukum
acara Mahkamah Konstitusi memang menyulitkan bagi para hakim dalam
menjalankan praktek beracara Mahkamah Konstitusi. Sumber hukum yang
menjadi acuan selama ini adalah Peraturan Mahkah Konstitusi Nomor
06/2005 tentang pedoman beracara dalam perkara pengujian
undang-undang. Namun palam peraturan ini tidak mengatur batasan apakah
Mahkamah Konstitusi boleh melakukan ultra petita. Oleh karena itulah
Mahkamah Konstitsi mengadopsi berbagai aturan dalam hukum acara terutama
hukum acara peradilan tata usaha negara. Mahkamah Konstitusi juga
mengadopsi peraturan yang berasal dari negara lain yang memiliki lembaga
Constitutional courts.
Ultra petita yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi mendasarkan pada pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi
Korea Selatan yang berbunyi :
“Mahkamah Konstitusi memutus
konstitusionalitas tidaknya satu undang-undang atau suatu ketentuan dari
undang-undang hanya yang dimohonkan pengujian. Dalam hal seluruh
ketentuan dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian dinilai tidak
dapat dilaksanakan sebagai akibat putusan inkonstitusionalnya pasal yang
dimohonkan, maka putusan inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap
keseluruhan undang-undang tersebut”
Jimly Asshiddiqie, mengatakan,
boleh saja putusan MK memuat ultra petita jika masalah pokok yang
dimintakan review terkait pasal-pasal lain dan menjadi jantung dari UU
yang harus diuji itu. Menurut Jimly, larangan ultra petita hanya ada
dalam peradilan perdata. Sedangkan Bagir Manan mengatakan, ultra petita
dalam putusan MK dapat dibenarkan asal dalam permohonan judicial review
atas isi UU itu pemohon mencantumkan permohonan ex aequo et bono
(memutus demi keadilan).
Mahkamah Konstitusi melakukan
ultra petita dengan alasan bahwa dalil yang dinyatakan Mahkamah
Konstitusi untuk membatalkan keseluruhan UU diluar permohonan pemohon,
karena menyangkut kepentingan masyarakat luas, serta menimbulkan akibat
hukum yang lebih luas dari pada sekadar mengenai kepentingan Pemohon
sebagai perorangan.
Hukum bukan sebagai sebuah
produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika
tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses
pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati
dirinya yaitu sebagai sebuah “ilmu”. Kita dapat memaknai putusan MK yang
bersifat ultra petita untuk mewujudkan keadilan konstitusi.
Jika menilik kembali fungsi
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi, lembaga
nomokratis pengimbang dan pengarah sistem demokrasi, lembaga penjaga hak
konstitusional hak warga negara, dan lembaga penafsir tertinggi atas
ketentuan konstitusi maka MK tidak hanya memutus berdasarkan petitum
para pemohon. Tetapi juga harus melihat substansi gugatan tersebut.
Sejarah mencatat bahwa kewenangan judicial review pun lahir dari sebuah
putusan ultra petita yang diputuskan oleh hakim agung John Marshall di
Supreme Court (Mahkamah Agung Amerika).